langkah_langkah kaku di mahameru

.
.
LANGKAH_LANGKAH KAKU DI MAHAMERU
.
Apakah kita lupa bahwa tepat jam 01.00 WIB, tanggal 31 Oktober 2006 kita semua telah sepakat untuk bertolak dari Kalimati dengan tujuan puncak Mahameru ? ataukah kita memang berbakat memejamkan mata dengan taik mata yang menumpuk serta melukis dengan air liur saat kita lelap tertidur, di suasana yang memang seyogyanya untuk tidur ? Bisakah kita patuh pada jadwal ?
Tetapi kita tidak terlalu jelek, tepat jam 00.00 WIB sebagian dari kita telah terjaga dan mengingatkan sebagian yang lain untuk bersiap-siap, karena masih ada satu set hidangan yang harus dikunyah sebelum bertolak. Racikan mie instant dan telor goreng yang disiapkan oleh Rangga, Fai dan Kiting sesaat sebelum tidur telah dikunyah dan ditelan, terlepas dari suka atau tidak suka, enak atau tidak enak, kita telah menghabiskannya dengan penuh semangat sebagai “ pencinta mie instant”. Uye… Ujo, Setelah berdoa sesuai dengan kepercayaan masing – masing, dengan langkah sigap dan pasti Surya mulai menerobos rerumputan Kalimati diiringi oleh anggota tim lainnya di pukul 01.30 Wib dengan suhu antara 3 - 4° C.
.
Ketika kebanyakan manusia dipermukaan bumi Nusantara sedang pulas tertidur, ketika suhu di Kalimati sangat mendera, ketika kantuk masih menyelimuti kita, ketika itulah kita menggoreskan tinta dihati kita masing - masing bahwa kita memang pencinta alam dengan pembuktian bahwa kita sedang meranngkai langkah - langkah tegar memeluk alam dimana kita akan mendapatkan kepuasaan jiwa yang tak pernah terkata.
.
Debu dan keringat menyatu di badan, gelap dan silang menyilang sinar senter menghiasi malam, batu dan pohon - pohon pinus terlewatkan merupakan secercah kenikmatan yang disuguhkan alam. Kita berhak menikmatinya, kita berhak berbangga hati, kita berhak atas titel pecinta alam setelah setumpuk pengorbanan itu. pandangan demi pandangan waspada yang hanya seluas sinar senter menebar, tanjakan terjal dan jurang curam seakan tak pernah terselesaikan, dingin dan nafas kecapaian seakan mengalahkan kantuk yang tadinya merajalela dan segudang pertanyaan beserta jawabannya bertautan dihati, akhirnya kita sampai di Arcopodo. Sebuah tenda kuning dengan kapasitas 6 orang berdiri kokoh diatas tanah yang tidak begitu luas. Tenda tersebut dihuni oleh tim pendakian dari Yogyakarta yang juga merencanakan pemuncakan malam tersebut. Sebagian pendaki memilih Arcopodo sebagai areal camping karena letaknya lebih tinggi dan memudahkan untuk pemuncakan. Kita memilih Kalimati karena sumber air bersih terakhir berada di areal tersebut dan sebagai safety alternatif jika cuaca sangat buruk, setidaknya di Kalimati terdapat shelter semipermanen yang dapat dihuni setiap saat.
.
Setelah nafas kembali teratur dan semangat kembali membulat kita tinggalkan Arcopodo dengan tujuan berikutnya adalah Kelik. Antara Arcopodo dan Kelik antara nafas-nafas pendek dan kaku sebuah pemandangan peradaban dengan kerlap-kerlip lampu terbentang jauh diarah kanan jalur. Dengan yakin Surya menerangkan bahwa kerlipan lampu - lampu tersebut adalah kota Malang yang tampak dari kejauhan di malam hari. Apa yang terlintas dibenak kita, jika saat itu kita berada dikota tersebut ? Kita yakin bahwa kita sedang merangkai taik mata dan air liur ditempat tidur yang hangat dan nyaman, itu seandainya kita disana. Tetapi saat ini kita disini diantara segala sesuatu yang pernah menjadi mimpi - mimpi kita.
.
Tepat pukul 03.25WIB kita melintasi sebuah memoriam dengan cantuman nama sekaligus menamai daerah yang dikenal sebagai Kelik, areal atau point kedua terkhir menuju puncak Mahameru, areal yang terdiri dari daratan yang tidak seberapa luas serta dikelilingi oleh jurang - jurang yang sangat dalam. Terkadang diareal ini juga dapat dijadikan areal perkemahan terakhir sebelum pemuncakan. Beberapa pendaki melakukan hal tersebut, tetapi tidak pernah terbayangkan jika kita berkemah di Kelik tetapi mengalami kekurangan air bersih sehingga kita harus mengambil di Sumber Mani yang berdekatan dengan Kalimati.
.
Masih dengan formasi Surya didepan kita tinggalkan Kelik kembali menyusuri jalan setapak dan kegelapan malam yang pekat. “ Mohon untuk tidak bersandar di beton tersebut” peringat Surya kepada yang lain saat melewati bagian jalur yang sisi kiri dan kanannya terlihat jelas jurang yang dalam dan menganga. Kala itu jugalah kita telah melampaui batas tertinggi vegetasi hutan pinus gunung Semeru, kala itulah kembali menyala kobaran semangat pemuncakan, kala itulah langkah - langkah kita yang telah teruntai terasa sangat berarti.
.
Campuran antara kerikil dan pasir gunung vulkanik yang setiap kali kita injak membenamkan sepatu hingga batas pertengahan betis, merupakan materi yang akan kita jumpai sepanjang jalur menuju puncak. Seakan kita lupa bahwa debu yang beterbangan sangat menyesakkan dada dan memerihkan mata, takkala seluruh kemampuan yang tersisa hanya terpusat kepada dua upaya yaitu mengatur nafas sebaik mungkin dan menguntai langkah sebanyak - banyaknya, akankah serasi nafas dan langkah kita ?
.
Bertengger Surya disisi kiri jalur sambil berkata “ Jika sudah terlihat Cemoro Tunggal, pilihlah jalur bagian baratnya” kepada setiap yang melewatinya.
.
Masih dalam kepekatan subuh, masih dijalur berbatu dan berpasir, masih gigil menahan dingin dan beku, masih menguntai langkah diantara terpaan angin, melewati lekukan demi lekukan jalur, disisi kiri jalur tersebut terbentang hamparan sinar keemasan sang mentari yang akan bangun diufuk timur tak seberapa lama lagi. Mega keemasan itu seakan tidak pernah ingkar janji untuk memperlihatkan keagungan mahakaryaNya. Sembari sinar mentari perlahan tapi pasti menyinari permukaan bumi, Cemoro Tunggal berdiri kokoh tidak seberapa jauh di depan kita. Bergegas setiap kita menggapai sapaan sebuah pohon cemara yang terletak jauh diatas batas akhir vegetasi tertinggi di gunung Semeru. Kokoh, tegak dan tunggal adalah gambaran yang sangat luar biasa terlihat dari keberadaan cemara tersebut. Dalam waktu kurang dari 20 menit seluruh anggota tim telah berkumpul melingkari Cemoro Tunggal dan menebarkan pandangan ke permukaan daratan yang sebagian masih terlihat tertutup embun pagi. Menikmati segarnya air Sumber Mani, mengunyah lahap potongan coklat yang dibagikan Patua sambil berkata “Selamat datang di Cemoro Tunggal dan anda berhak atas dua potong coklat” kepada setiap anggota tim yang dadinya sampai.
.
Setelah menghitung jumlah anggota tim, akhirnya Teddy dengan berat hati menyampaikan sebuah berita bahwa “ Surya harus kembali ke Kalimati” dengan alasan keselamatan tenda dan perlengkapan serta untuk mempersiapkan segala kebutuhan tim saat kembali dari pemuncakan. Sesaat kita termenung dan mengingat kembali sebuah pertanyaan yang sebelumnya pernah terlintas, bahwa “apakah ada yang lain yang berpikir dan memikul seberat surya ?”, sehingga dia harus kembali ke Kalimati demi kita nanti pada saat setelah menggapai puncak. Mengapa harus Surya ? Mengapa tidak si Patua yang telah tua dan renta saja ?, apakah ada hal - hal lain yang tidak akan pernah terkatakan oleh Surya ? Kembali kebekuan dihati menyesakkan.
.
Cemoro Tunggal 05.28 WIB, 7 - 8 °C, saat itu satu persatu dari kita harus kembali ke jalur labil dan berdebu, melanjutkan perjalanan yang “apakah sebanding dengan kemampuan kita ?”. Tidak ada lagi kegelapan yang pekat dan silang menyilang cahaya senter dan kerlip lapu nunjauh disana saat matahari bangkit dan menyinari kita dan terbuktilah bahwa “ hitam, putih, dan abu-abu adalah warna - warna abadi Mahameru. Warna - warna abadi itulah yang entah kapan mengilhami sebagian dari kita untuk melantunkan lagu, menulis buku - buku cerita dan lain-lain tentang mahakarya tersebut.
.
Lekukan demi lekukan, tanjakan penuh menuju puncak, langkah - langkah lunglai dan napas - napas sesak adalah bagian - bagian dominan antara Cemoro Tunggal dan Mahameru. Ketika seluruh kemampuan telah kita korbankan, ketika Surya harus kembali ke Kalimati, ketika Fai dan Rangga harus terpaku diantara Cemoro Tunggal dan puncak, saat itulah antara pukul 07.30 – 08.20 WIB, satu persatu dari lima anggota tim berhasil menjejakkan langkah _ langkah kaku di puncak Mahameru. Langkah - langkah yang telah menjawab semua pertanyaan yang ada di relung hati kita yang terdalam.
.
Mahameru 3.676 mdpl, 31 Oktober 2006, antara jam 08.45 – 09.45 WIB, 9-11 °C. Rangkaian adzan dikumandangkan oleh Gaple, isak tangis haru Teddy sebagai lambang pembebasan jiwa tak tertahankan, senyum ramah persahabatan petualangan dari Ulfa, bersemburan debu dan pasir dari rambut gimbal si Kiting, untaian lagu Padamu Negeri dan ikatan pita merah putih Patua di sebuah memoriam serta luapan kesaktian wedus gembel dari mulut Jongging Selaka menutup saat - saat fenomenal kita di puncak “legenda abadi para dewa” tersebut.
.
~
.
.